Skip to main content

Merenung Dalam Keheningan di Wisata Bono

Sekarang saya sedang berada di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, tempat ditemukannya gelombang Bono karena ada sebuah pekerjaan. Di tempat ini saya banyak merenung. Merenungkan banyak hal. Merenung bukan tanpa sebab, tapi karena tidak ada yang mesti saya lakukan, listrik mati, sinyal hilang. Mati gaya. Saya menulis ini ditemani cahaya hp dan hening sekali.

Sebelum listrik mati, saya melihat video TikTok kakak saya, saya baru menyadari bahwa saya sudah banyak kemajuan, sudah bisa merantau, hidup mandiri. Tidak menyangka saya sudah berubah banyak sejauh perjalanana diusia 20an. Proud of myself. Kedua almarhum orang tua saya pasti bangga, sudah banyak hal-hal yang dulu sulit saya lakukan, saat ini bisa, bahkan sudah bisa diandalkan oleh keluarga. Semoga pencapaian-pencapain lebih juga mengikuti.

Baru satu, ternyata setelah dipikir-pikir saya bisa melewati masa-masa ‘sulit’ dengan cukup baik. Ya walaupun suliiiiiit sekali. Melewati hal-hal yang tidak pernah saya rasakan. Emosi terendah dan terlalu banyak negativity dalam diri saya.

Awalnya saya cerita dengan teman dekat, sedikit lega tapi tanpa sadar bahwa kalau dipikir-pikir itu menyebabkan toxic buat mereka. Kemudian saya memilih diam dan menampung toxic itu dalam diri sendiri dan pada akhirnya menjadi orang yang gak sensitif, gak bisa ngerasain perasaan orang atau bisa dibilang kurang empati. Ini mungkin karena saya gak bisa ngerasain perasaan sendiri kali ya.

Saya mulai belajar mengenali emosi (tapi ini susah banget sampai sekarang) dan saya juga masih belajar. 

Kalau emosi negatif sudah muncul, saya biasanya menulis terlebih dahulu, apa sih yang bikin saya kesal, sedih, cemas, overthinking? Lalu dari situ saya bisa mencari penyebabnya dan mencari solusinya.

Kadang cara ini masih belum cukup juga sih buat saya.

Lalu apa yang saya lakukan?

Berolahraga. Mulai tahun lalu saya bermain badminton. Olahraga membantu meredakan emosi negatif, jadi emergi positif saya sedikit fokus sama yang lebih berguna. Sampai badminton menjadi olahraga rutin saya saat ini.

Tapi masih saja emosi negatif itu kadang-kadang muncul. 

Saya coba lagi meditasi. Yup. Setiap pikiran runyam, overthinking, anxiety muncul, saya mencoba berusaha untuk menjernihkan pikiran agar berpikir dengan baik. Biasanya meditasi sebelum tidur hingga akhirnya saya ketiduran hahaha, tapi ini worth it.

Kadang saya juga latihan napas. Karena ini yang paling dasar dalam meditasi. Cuma beberapa menit saja bisa.

Apa saya sudah merasakan lebih baik?

Belum. Sampai saat ini kondisi emosi masih up and down. Tapi setidaknya saya menyadari kondisi saya dan mencoba mencari solusi dan mencoba untuk menerima.

“Hidup masih baik-baik saja, dan hidup masih bisa ditertawakan. Bertahan sebentar lagi yak. Sehari, sebulan, dan selanjutnya ya”.

Saat blog ini terpublish, saat itu saya mendapatkan sinyal internet.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Sosiologi Dan Cinta

Saya tak sengaja terdampar kuliah di jurusan ini. Saya sudah melalui empat semester  di sosiologi UR alias Universitas Riau . Jatuh bangun sama IP sudah saya rasakan, banyak tugas yang sudah saya kerjakan (biasa aja sih sebenernya tugasnya, agak di dramatisir aja) sudah 2 orang senior yang jadiin saya responden (nah di bagian ini sebenernya gak suka, begitu bermasalahkah diri saya sehingga harus diteliti,oke, positif aja, mungkin saya unik. hehehe) . Kalau dipikir-pikir (kali ini saya tumben mikir) sosiologi itu mempelajari semuanya loh, bukan hanya agama, perkotaan, pedesaan, kesehatan, lingkungan, hukum, tapi juga hal yang paling absurd di dunia ini yang bernama CINTA . Iya, cinta. Harusnya mahasiswa sosiologi tidak ada yang jomblo karena ada beberapa teori yang mengaitkan tentang ini. Tidak ada yang ngemis-ngemis cinta atau miskin cinta atau bahkan fakir asmara.  PDKT alias PENDEKATAN itu bisa jadi terinspirasi dari teori kakek sosiolog yang mungkin beliau ter...

Mencoba Menemukan Ketenangan di Tengah Riuhnya Kehidupan

Hidup itu seperti berada di atas papan selancar, terkadang ombaknya tenang, terkadang menggulung-gulung seperti monster raksasa. Dan jujur saja, dalam beberapa bulan terakhir, rasanya saya lebih sering terhempas ombak daripada berdiri gagah di atasnya. Cemas? Oh, cemas itu sudah seperti teman lama yang tak diundang datang setiap hari. Mood buruk? Rasanya seperti awan hitam yang terus menempel di kepala, bahkan saat cuaca cerah. Bayangkan saja, saya, yang dulu penuh semangat menjalani hari-hari, tiba-tiba merasa kehilangan minat pada hal-hal yang biasa saya cintai. Olahraga? Sudah seperti cinta lama yang tak berbalas. Buku? Seakan huruf-huruf di dalamnya berubah menjadi semut-semut yang berlarian tanpa arah. Bahkan serial drama Korea yang biasanya menjadi sahabat setia saat malam datang, kini hanya menjadi tontonan latar belakang saat pikiran saya melayang entah ke mana. Hidup saya, meskipun penuh potensi, kadang terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Saya berusaha sebaik mungkin untu...

Towards The Light

Pagi menjelang, dan alarm berbunyi dengan suara yang sama. Saya membuka mata, tetapi rasanya berat untuk bangkit dari tempat tidur. Setiap hari terasa seperti pengulangan yang sama, itu hanya sebuah tanda bahwa saya masih melanjutkan hidup. Hari-hari berlalu, dan saya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak kunjung berubah. Menjalani hari demi hari adalah pekerjaan yang berat, dan saya seperti penonton dalam film yang tidak berujung, menjalani momen yang itu-itu saja tanpa perkembangan. Ketidakpuasan ini membuat saya merasa kosong. Seperti banyak orang, saya berusaha menemukan cara untuk tumbuh, tetapi saat ini, satu-satunya ruang untuk berkembang adalah melalui kembali ke bangku sekolah—sebuah pelarian kecil dari kenyataan yang menyedihkan. Dalam kesibukan itu, saya merindukan kehidupan yang lebih bermakna—kehidupan di mana saya berusaha untuk hidup sepenuhnya, bukan hanya bertahan. Saya bukannya tidak bahagia, tetapi aku juga tidak merasa bahagia. Saya teringat saat-saat ketika saya...