Skip to main content

Jakarta dan Bajaj

Saya masih ingat, seorang teman sewaktu di Gonz pernah berkata :
"Buset, Gue kaya diperkosa Jakarta"
Walaupun dia belum pernah diperkosa. Baginya, kereta seperti kaleng sarden yang terombang-ambing. daging-daging menempel dan menghimpit. Hanya sedikit celah untuk mengambil udara, mustahil untuk bergerak, sulit mengubah posisi tangan. 

Macet di Jakarta akibat sudah terlalu banyak manusia. Tanpa pemindahan atau pembasmian manusia, mustahil mengentaskan kemacetan. Sistem transportasi canggih, sulap Demian Aditya, atau petuah Anies Baswedan tak akan mampu menghabisi macet ibu kota.

Sebulan sudah saya hidup di Jakarta menjalani Employee Exchange Program. Namun, beruntungnya saya, setiap hari berjalan kaki, tidak naik komuter, taksi, atau kendaraan lainnya ke kantor. Berbeda dengan sebelumnya, kemana-mana diantar atau naik kendaraan sendiri. Saya paling tidak suka jalan kaki !!!! hahahaha. Tapi, dengan berjalan kaki, sekitar 10 menit, saya sampai di kantor dengan bahagia. Paling tidak hitung-hitung olahraga.

Sudah lama sekali rasanya datang ke kantor dengan penuh semangat. Kalau boleh jujur, saya menikmati. Banyak belajar dengan orang-orang berpengalaman di kantor. Setiap hari ada saja hal-hal baru yang saya pelajari. Bagaimana menyusun strategi publikasi, making decision, bagaimana kinerja tim, berbagi ilmu, pengalaman. Daaaaaan, saya pertama kalinya di make up in di kantor. hahahahah !. Energi positif itu perlu.

Tiga tahun lalu, saya mengingat tulisan saya yang judulnya Pilihan, saya pikir kesempatan ini adalah salah satu kemenangan-kemenangan kecil bagi saya. Tahun ini saya bersyukur banyak diberikan kesempatan lebih. Tantangan baru, lingkungan baru (walaupun 2 bulan program ini) jadinya belajar lagi. Kenyamanan itu berbahaya. Terjebak dalam comfort zoneKetika saya ditugaskan untuk ikut program ini, saya langsung "oke siap !". Karena saya masih muda, belum ada tanggungan, go ahead.


Comments

Popular posts from this blog

Teori Sosiologi Dan Cinta

Saya tak sengaja terdampar kuliah di jurusan ini. Saya sudah melalui empat semester  di sosiologi UR alias Universitas Riau . Jatuh bangun sama IP sudah saya rasakan, banyak tugas yang sudah saya kerjakan (biasa aja sih sebenernya tugasnya, agak di dramatisir aja) sudah 2 orang senior yang jadiin saya responden (nah di bagian ini sebenernya gak suka, begitu bermasalahkah diri saya sehingga harus diteliti,oke, positif aja, mungkin saya unik. hehehe) . Kalau dipikir-pikir (kali ini saya tumben mikir) sosiologi itu mempelajari semuanya loh, bukan hanya agama, perkotaan, pedesaan, kesehatan, lingkungan, hukum, tapi juga hal yang paling absurd di dunia ini yang bernama CINTA . Iya, cinta. Harusnya mahasiswa sosiologi tidak ada yang jomblo karena ada beberapa teori yang mengaitkan tentang ini. Tidak ada yang ngemis-ngemis cinta atau miskin cinta atau bahkan fakir asmara.  PDKT alias PENDEKATAN itu bisa jadi terinspirasi dari teori kakek sosiolog yang mungkin beliau ter...

Mencoba Menemukan Ketenangan di Tengah Riuhnya Kehidupan

Hidup itu seperti berada di atas papan selancar, terkadang ombaknya tenang, terkadang menggulung-gulung seperti monster raksasa. Dan jujur saja, dalam beberapa bulan terakhir, rasanya saya lebih sering terhempas ombak daripada berdiri gagah di atasnya. Cemas? Oh, cemas itu sudah seperti teman lama yang tak diundang datang setiap hari. Mood buruk? Rasanya seperti awan hitam yang terus menempel di kepala, bahkan saat cuaca cerah. Bayangkan saja, saya, yang dulu penuh semangat menjalani hari-hari, tiba-tiba merasa kehilangan minat pada hal-hal yang biasa saya cintai. Olahraga? Sudah seperti cinta lama yang tak berbalas. Buku? Seakan huruf-huruf di dalamnya berubah menjadi semut-semut yang berlarian tanpa arah. Bahkan serial drama Korea yang biasanya menjadi sahabat setia saat malam datang, kini hanya menjadi tontonan latar belakang saat pikiran saya melayang entah ke mana. Hidup saya, meskipun penuh potensi, kadang terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Saya berusaha sebaik mungkin untu...

Towards The Light

Pagi menjelang, dan alarm berbunyi dengan suara yang sama. Saya membuka mata, tetapi rasanya berat untuk bangkit dari tempat tidur. Setiap hari terasa seperti pengulangan yang sama, itu hanya sebuah tanda bahwa saya masih melanjutkan hidup. Hari-hari berlalu, dan saya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak kunjung berubah. Menjalani hari demi hari adalah pekerjaan yang berat, dan saya seperti penonton dalam film yang tidak berujung, menjalani momen yang itu-itu saja tanpa perkembangan. Ketidakpuasan ini membuat saya merasa kosong. Seperti banyak orang, saya berusaha menemukan cara untuk tumbuh, tetapi saat ini, satu-satunya ruang untuk berkembang adalah melalui kembali ke bangku sekolah—sebuah pelarian kecil dari kenyataan yang menyedihkan. Dalam kesibukan itu, saya merindukan kehidupan yang lebih bermakna—kehidupan di mana saya berusaha untuk hidup sepenuhnya, bukan hanya bertahan. Saya bukannya tidak bahagia, tetapi aku juga tidak merasa bahagia. Saya teringat saat-saat ketika saya...