Skip to main content

Internet Addict

Sudah lama tidak menulis di blog ini. Belakangan kebiasaan lama seperti membaca buku dan menulis di blog jarang sekali saya laksanakan. Hasrat untuk melakukan kedua hal tersebut semacam pergi dari jiwa saya. Padahal, banyak buku yang belum saya selesaikan, diantaranya Kafka on The Shore, IQ84- nya Haruki Murakami, Antalogi Rasa- Ika Natasa, dan Ubur-ubur Lembur- Raditya Dika dan ada beberapa buku dari Desi Anwar juga belum selesai. Bahkan, beberapa buku tersebut saya lupa meletakkan dimana.

Kacau sekali.

Well, dua tahun belakangan tidak ada hal-hal baru yang saya lakukan. Malahan, saya seperti menjadi internet addict. Sekarang saya tidak bisa hidup tanpa smartphone. Tak ada signal internet kadang membuat saya cemas dan senang (you know what I mean). Waktu saya habis akan internet. Melihat pesan di Grup Whatsapp yang terkadang tak penting, tak pula saya merespon, melihat insta-story rekan-rekan terkasih, nonton konser di youtube. Saya merasa berlebihan menggunakan internet, saya menjadi candu.
We are good showing people that life is amazing. Even though we're depressed, right?
We're growing up in a Facebook and Instagram world 
Belakangan saya sering lupa, bahkan lupa terhadap suatu hal yang baru saja saya kerjakan atau sesuatu yang dikatakan orang lain.  Saya pernah baca di suatu website berita, tirto.id tentang short term-memory loss. 
Seorang psikolog klinis dari Dimensions Centre, Hong Kong, Dr. Joyce Chao menyatakan bahwa penggunaan internet secara berlebihan bisa berimbas pada kemampuan mengingat jangka pendek, konsentrasi, dan rentang perhatian seseorang.

“Gawai kita—dan konten yang ditampilkan di dalamnya—didesain untuk membikin candu, jadi tidak mengejutkan bila hal ini membuat kita begitu terikat…Khususnya bila kita menyalakan notifikasi dan kita terbiasa mengecek media sosial, berita-berita, dan hal-hal sejenisnya. Orang-orang juga berharap kita membalas pesan sesegera mungkin, sehingga ketika kita tidak dapat melakukannya dengan alasan apa pun, kecemasan menghampiri dan ini berpengaruh terhadap mood serta konsentrasi kita,” kata Chao.

From tirto.id
Setelah tahu hal tersebut, saya menjadi khawatir ketika suatu hari saya lupa ingatan. haha.

Membaca itu membuat saya khawatir. Akhirnya saya sedikit demi sedikit mengubah kebiasaan saya seperti jarang update status di media sosial, menyempatkan berolahraga setelah pulang kantor atau bermain gitar di kamar. Saya mencoba untuk tidak khawatir ketika ada pesan masuk. Tidak mudah memang, namun harus dipaksakan.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Sosiologi Dan Cinta

Saya tak sengaja terdampar kuliah di jurusan ini. Saya sudah melalui empat semester  di sosiologi UR alias Universitas Riau . Jatuh bangun sama IP sudah saya rasakan, banyak tugas yang sudah saya kerjakan (biasa aja sih sebenernya tugasnya, agak di dramatisir aja) sudah 2 orang senior yang jadiin saya responden (nah di bagian ini sebenernya gak suka, begitu bermasalahkah diri saya sehingga harus diteliti,oke, positif aja, mungkin saya unik. hehehe) . Kalau dipikir-pikir (kali ini saya tumben mikir) sosiologi itu mempelajari semuanya loh, bukan hanya agama, perkotaan, pedesaan, kesehatan, lingkungan, hukum, tapi juga hal yang paling absurd di dunia ini yang bernama CINTA . Iya, cinta. Harusnya mahasiswa sosiologi tidak ada yang jomblo karena ada beberapa teori yang mengaitkan tentang ini. Tidak ada yang ngemis-ngemis cinta atau miskin cinta atau bahkan fakir asmara.  PDKT alias PENDEKATAN itu bisa jadi terinspirasi dari teori kakek sosiolog yang mungkin beliau ter...

Mencoba Menemukan Ketenangan di Tengah Riuhnya Kehidupan

Hidup itu seperti berada di atas papan selancar, terkadang ombaknya tenang, terkadang menggulung-gulung seperti monster raksasa. Dan jujur saja, dalam beberapa bulan terakhir, rasanya saya lebih sering terhempas ombak daripada berdiri gagah di atasnya. Cemas? Oh, cemas itu sudah seperti teman lama yang tak diundang datang setiap hari. Mood buruk? Rasanya seperti awan hitam yang terus menempel di kepala, bahkan saat cuaca cerah. Bayangkan saja, saya, yang dulu penuh semangat menjalani hari-hari, tiba-tiba merasa kehilangan minat pada hal-hal yang biasa saya cintai. Olahraga? Sudah seperti cinta lama yang tak berbalas. Buku? Seakan huruf-huruf di dalamnya berubah menjadi semut-semut yang berlarian tanpa arah. Bahkan serial drama Korea yang biasanya menjadi sahabat setia saat malam datang, kini hanya menjadi tontonan latar belakang saat pikiran saya melayang entah ke mana. Hidup saya, meskipun penuh potensi, kadang terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Saya berusaha sebaik mungkin untu...

Towards The Light

Pagi menjelang, dan alarm berbunyi dengan suara yang sama. Saya membuka mata, tetapi rasanya berat untuk bangkit dari tempat tidur. Setiap hari terasa seperti pengulangan yang sama, itu hanya sebuah tanda bahwa saya masih melanjutkan hidup. Hari-hari berlalu, dan saya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak kunjung berubah. Menjalani hari demi hari adalah pekerjaan yang berat, dan saya seperti penonton dalam film yang tidak berujung, menjalani momen yang itu-itu saja tanpa perkembangan. Ketidakpuasan ini membuat saya merasa kosong. Seperti banyak orang, saya berusaha menemukan cara untuk tumbuh, tetapi saat ini, satu-satunya ruang untuk berkembang adalah melalui kembali ke bangku sekolah—sebuah pelarian kecil dari kenyataan yang menyedihkan. Dalam kesibukan itu, saya merindukan kehidupan yang lebih bermakna—kehidupan di mana saya berusaha untuk hidup sepenuhnya, bukan hanya bertahan. Saya bukannya tidak bahagia, tetapi aku juga tidak merasa bahagia. Saya teringat saat-saat ketika saya...