Wuuuuuuz.
2017 terasa begitu cepat. Sampai saya tak menyadarinya. Berjalan begitu saja.
2017.
Tahun pertama tanpa kedua orangtua saya. 9 tahun tanpa Ibu, 1 setengah tahun tanpa Abah. Beliau ini seperti injeksi penyemangat saya.
Ibu saya misalnya, disiplin dan ontime. Selalu ada target dalam mengerjakan sesuatu dan pastinya jika mencapai target, selalu ada apresiasi. Selalu menyediakan yang saya butuhkan, bahkan disaat saya tidak meminta. Bagi beliau, liburan itu perlu untuk meregangkan saraf-saraf yang keriting. Gunung dan sawah adalah destinasi favoritnya. Krisdayanti adalah penyanyi favorit beliau. Selalu menonton Krisdayanti di televisi tanpa melewatkannya sedikitpun. Jantung melemahkan hari-hari beliau yang selalu bersemangat. Bolak-balik rumah sakit jadi rutinitas selama 6 bulan hingga akhirnya beliau menyerah ketika subuh 6 Januari 2007. Saya sempat down setelah kepergian beliau. Waktu itu 2 bulan menjelang UN saya tidak fokus belajar dan hanya bermain game. Kemudian akhirnya saya tidak lulus di SMA idaman. Tapi tidak apa-apa, 6 bulan sekolah di Gonz sedikit demi sedikit mengembalikan keceriaan saya. Menjadi manusia susila terpelajar. Sesuai Mars nya.
Abah. Wiserman, seperti namanya, pria bijaksana. Setelah Ibu pergi, saya adalah roommate beliau. Selalu berusaha menjadi ibu sekaligus bapak. Santai dan menolak tua. Mau belajar dengan cara apapun, terserah yang penting hasilnya bagus. Kalau lagi malas ya udah gak usah sekolah atau kuliah, tapi harus bertanggung jawab dengan nilai. Suka nonton hockey, baseball, basket dan tentu saja, acara reality show Korea. Hobi menelpon anaknya, apalagi ketika saya merantau, setiap subuh beliau membangunkan saya melalui telpon, selalu menjemput saya di perhentian bus, kemudian kami bersenang-senang menikmati weekend. Mei 2016 beliau sudah jadi penghuni tetap rumah sakit. Tanggal 28 Juni 2016 sebuah kabar menabrak saya kalau beliau anfal dan saya pun langsung pulang dari kantor menuju rumah. Ketika sampai dirumah sakit, nafas Abah hanya tinggal satu-satu. Hanya 5 menit ketika saya sampai, beliau langsung pergi tidur dengan tenang saat adzan magrib h-4 Idul Fitri. Ternyata beliau hanya ingin menunggu saya. Sampai sekarang saya masih menyesal dan merasa bersalah tidak pulang di minggu terakhir karena harus kerja keluar kota. Salah besar memang.
Sekarang, pulang ke rumah dengan rasa yang beda. Tidak dikamar yang sama, menghabiskan weekend bukan ditempat yang sama saat bersama Abah. Hanya tidak ingin bersedih terlalu dalam.
2017.
Saya baru sadar, tahun ini saya tidak membeli buku. Tidak pula membaca buku yang ada. Padahal, masih ada buku yang belum selesai saya baca, IQ84, Dunia Kafka milik Haruki Murakami dan Kegilaan Peradaban Michel Foulcaut. Entah apa yang membuat saya kehilangan gairah membaca buku.
2017.
Tahun dimana saya jarang sekali menulis di blog. Keinginan menulis itu selalu ada, namun tidak bisa. Saya menuduh rutinitas menumpulkan otak saya. Saya memikirkan dua hal yang menyebabkan ketumpulan itu. Otak dan pikiran saya telah habis dimakan rutinitas. Bukan karena sering dipakai, justru karena tak pernah digunakan. Rutinitas dan kesibukan menumpulkan pikiran dengan cara yang yang saya tak tahu bagaimana.
2017.
Saya kembali menyalakan Playstation. Bukan tanpa alasan, Playstation mungkin alat penipuan diri bagi saya. Untuk menghilangkan 'hal-hal yang menyakitkan dalam hidup atau mengusir dementor'.
2017.
Dulu bareng-bareng siapa sih?. Ternyata semuanya sudah selesai.
2017 berlalu begitu saja. Menengguk kapitalisme. Karena kapitalisme selalu menang.
Comments
Post a Comment