Skip to main content

Ketika Basa Basi Dilagukan

Sudah hampir seminggu Ramadhan datang menghampiri umat Islam di bumi. Sudah berapa yang batal? yang jelas lebih dari satu.  Bulan puasa tahun ini saya menghabiskan nya di jalan. Semoga saya tak tua di jalan.

Belakangan saya sering melihat sesuatu yang memang dari dulu kurang saya sukai. Basa-basi dilagukan dan puji-pujian diutarakan. Ketika saya berada di dalam situasi ini, dalam hati saya berucap "Cepatlah ini berlalu..". Jujur, saya tak betah dengan ramah temeh seperti ini. Mungkin saya belum mengerti siklus hidup dan mencari makan. Mungkin juga saya salah menanggapi arti mimik muka orang-orang ini.

Entahlah, saya merasa terkukung dalam kepalsuan saat itu. Seseorang yang umurnya 15 tahun lebih tua dari saya berkata "Kalau enggak begitu, enggak dapat duit, enggak dapat relasi, mati dimakan cacing,".

Entahlah, mungkin aturan mencari makan seperti itu. Orang-orang yang terlihat apa adanya akan lebih tertinggal.Mungkin. Entahlah saya masih belum paham dengan hal seperti ini.ENTAHLAH.

Kemudian saya ingat tokoh sosiologi yang membahas hal seperti ini, sering saya sebut, Erving Goffman. Teori Dramaturgi. Setiap manusia, punya dua sisi kehidupan, back stage dan front stage. Front stage itu sering kita gunakan untuk mengatur image atau kesan kita didepan orang lain. Biasanya, kita, sebagai manusia ingin terlihat baik dan disukai banyak orang. Itu manusiawi. Tapi apakah di back stage kehidupan kita, kita nyaman dengan kehidupan di front stage tersebut? Apakah hidup ini hanya sekedar mengatur kesan tanpa hidup itu kita nikmati? Mengapa banyak orang yang populer mati bunuh diri padahal kesan yang ia tampilkan selalu bagus? Apa kita hidup hanya berpura-pura? Entahlah, setiap manusia di bumi ini punya jawaban yang berbeda.

Saya sering dikira laki-laki dengan orang yang pertama kali bertemu dengan saya. Sebab, kesan yang saya keluarkan memang seperti iti, rambut pendek,bercelana panjang, kemeja laki-laki, sepatu juga laki-laki. Banyak yang sudah memprotes saya untuk mengubah penampilan saya seperti ini. Bahkan ada yang mengira saya jeruk makan jeruk.

Saya tak mengubris apa permintaan orang-orang kepada saya. Saya begini karena saya suka style seperti itu. Saya masih nyaman. Ya walau terkadang saya risih orang yang menyaman saya dengan "jeruk makan jeruk" tapi saya tak terlalu ambil pusing.Yang jelas saya tak seperti itu, saya masih normal. haha. Mungkin suatu saat saya akan berjodoh dengan pria yang bermil-mil jauhnya dari tempat saya sekarang.

Foto dibawah ini hasil miss komunikasi dengan mas-mas salon langganan saya. Saya menyesal memotong rambut saya. Saya berharap rambut ini berlalu dengan cepat.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Sosiologi Dan Cinta

Saya tak sengaja terdampar kuliah di jurusan ini. Saya sudah melalui empat semester  di sosiologi UR alias Universitas Riau . Jatuh bangun sama IP sudah saya rasakan, banyak tugas yang sudah saya kerjakan (biasa aja sih sebenernya tugasnya, agak di dramatisir aja) sudah 2 orang senior yang jadiin saya responden (nah di bagian ini sebenernya gak suka, begitu bermasalahkah diri saya sehingga harus diteliti,oke, positif aja, mungkin saya unik. hehehe) . Kalau dipikir-pikir (kali ini saya tumben mikir) sosiologi itu mempelajari semuanya loh, bukan hanya agama, perkotaan, pedesaan, kesehatan, lingkungan, hukum, tapi juga hal yang paling absurd di dunia ini yang bernama CINTA . Iya, cinta. Harusnya mahasiswa sosiologi tidak ada yang jomblo karena ada beberapa teori yang mengaitkan tentang ini. Tidak ada yang ngemis-ngemis cinta atau miskin cinta atau bahkan fakir asmara.  PDKT alias PENDEKATAN itu bisa jadi terinspirasi dari teori kakek sosiolog yang mungkin beliau ter...

Mencoba Menemukan Ketenangan di Tengah Riuhnya Kehidupan

Hidup itu seperti berada di atas papan selancar, terkadang ombaknya tenang, terkadang menggulung-gulung seperti monster raksasa. Dan jujur saja, dalam beberapa bulan terakhir, rasanya saya lebih sering terhempas ombak daripada berdiri gagah di atasnya. Cemas? Oh, cemas itu sudah seperti teman lama yang tak diundang datang setiap hari. Mood buruk? Rasanya seperti awan hitam yang terus menempel di kepala, bahkan saat cuaca cerah. Bayangkan saja, saya, yang dulu penuh semangat menjalani hari-hari, tiba-tiba merasa kehilangan minat pada hal-hal yang biasa saya cintai. Olahraga? Sudah seperti cinta lama yang tak berbalas. Buku? Seakan huruf-huruf di dalamnya berubah menjadi semut-semut yang berlarian tanpa arah. Bahkan serial drama Korea yang biasanya menjadi sahabat setia saat malam datang, kini hanya menjadi tontonan latar belakang saat pikiran saya melayang entah ke mana. Hidup saya, meskipun penuh potensi, kadang terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Saya berusaha sebaik mungkin untu...

Towards The Light

Pagi menjelang, dan alarm berbunyi dengan suara yang sama. Saya membuka mata, tetapi rasanya berat untuk bangkit dari tempat tidur. Setiap hari terasa seperti pengulangan yang sama, itu hanya sebuah tanda bahwa saya masih melanjutkan hidup. Hari-hari berlalu, dan saya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak kunjung berubah. Menjalani hari demi hari adalah pekerjaan yang berat, dan saya seperti penonton dalam film yang tidak berujung, menjalani momen yang itu-itu saja tanpa perkembangan. Ketidakpuasan ini membuat saya merasa kosong. Seperti banyak orang, saya berusaha menemukan cara untuk tumbuh, tetapi saat ini, satu-satunya ruang untuk berkembang adalah melalui kembali ke bangku sekolah—sebuah pelarian kecil dari kenyataan yang menyedihkan. Dalam kesibukan itu, saya merindukan kehidupan yang lebih bermakna—kehidupan di mana saya berusaha untuk hidup sepenuhnya, bukan hanya bertahan. Saya bukannya tidak bahagia, tetapi aku juga tidak merasa bahagia. Saya teringat saat-saat ketika saya...