Skip to main content

Catatan Ketidakpedulian

Sudah hampir 7 bulan saya menjadi mahasiswa yang sedikit apatis pada kampus saya sendiri. Saya tidak mengetahui apa itu UKT, apalagi UKT FISIP berapa, siapa ketua BLM kampus dan sebagainya. Terakhir saya masih (sedikit) aktif dalam kegiatan organisasi di kampus di lembaga Eksekutif mahasiswa kampus saya, FISIP. Pada periode itu saya ditempatkan di posisi Dinas Informasi dan Komunikasi bersama 4 rekan saya yang merupakan sudah lama akrab karena satu jurusan dan tetangga biro jurusan saya (halah). Banyak sesuatu yang membuat tidak nyaman. Yang tidak diberitahu tiba-tiba sesuatu itu muncul begitu saja. Lalu busuk-busuknya orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya dengan memanfaatkan organisasi kemahasiswaan, demi sebuah kepentingan, demi sebuah nama pribadi. Mementingkan kelompok-kelompok kecil mereka daripada sebuah organisasi yang mereka jalankan. Memanfaatkan sebuah moment untuk kepentingan dirinya sendiri. Mungkin kami tidak sebagus kinerja kalian, tapi kami tidak ada kepentingan apa-apa di sana dan mengabdi dengan ikhlas demi sebuah kemajuan.

Lalu, Fungsi dari badan legislatif kemahasiswaan, saya merasa pekerjaan badan eksekutif telah diambil alih oleh organisasi tersebut yang seharusnya menjadi lembaga yang mengawasi, bukan menjalankan, biarlah badan eksekutif yang menjalankan, jika mau ikut serta legislatif bisa membantu badan eksekutif. Tetapi faktanya tidak, badan legislatif menunjukkan taringnya, Membuat sebuah kegiatan yang saya rasa tugas sebuah lembaga eksekutif kampus, bukan legislatif. Ini mengakibatkan citra eksekutif buruk, tidak bekerja. Tidak percayakah Anda-anda kepada badan eksekutif mahasiswa itu yang sebenarnya tugas eksekutif? Saya tidak tahu. Apa itu menunjukkan bahwa Anda-anda juga bisa seperti badan eksekutif, mungkin bisa lebih, lalu timbul pertanyaan, kenapa dulu tidak bergabung dalam badan eksekutif? Karena pemimpinnya tidak dari yang kalian-kalian dukung? Atau ajang balas dendam karena tidak lolos verifikasi sebagai calon pemimpin eksekutif? Entahlah, saya tidak cukup tahu.

Apatis. Saya mengaku adalah bagian dari mereka yang apatis pada kampus saya sendiri belakangan ini, walaupun masih tergolong sedikit apatis.  Sebenarnya saya bukanlah seorang yang apatis sejak awal perkuliahan saya, saya pernah aktif di berbagai kegiatan kampus sejak menjadi mahasiswa. Tetapi sekarang saya memilih sedikit apatis dan banyak juga teman seperjuangan saya yang seperti saya. Mereka memilih apatis. Karena kebusukan-kebusukan yang ada. Memang, manusia-manusia di dalam struktur itu selalu bertukar setiap tahunnya, tetapi mereka berasal dari kalangan yang sama, dan dengan mudahnya mereka menjadi boneka-boneka dari “yang dituakan” di kelompok mereka. Lalu, kalau kalian apatis, tidak suka, mengapa kalian berubah menjadi peduli, katanya kalian independent? mereka yang independent, bukan tidak mau, mereka selalu di kalahkan sebelum berperang, banyak dari kalangan itu-itu saja yang dipilih. Sudah ada persekongkolan sebelumnya, tim horenya banyak, cara yang digunakan busuk, terkadang bisa saja memecah konflik hingga dekanat turun tangan.

Jadi jangan salahkan mereka mengapa menjadi tidak peduli terhadap organisasi, terhadap kegiatan kampus dan sebagainya. Kami bukan budak dan kami bukan penjilat kekuasaan. 

Cerita diatas adalah sudut pandang saya, itu terjadi sudah lama sekali. Mungkin saja bisa salah, mungkin bisa benar.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Sosiologi Dan Cinta

Saya tak sengaja terdampar kuliah di jurusan ini. Saya sudah melalui empat semester  di sosiologi UR alias Universitas Riau . Jatuh bangun sama IP sudah saya rasakan, banyak tugas yang sudah saya kerjakan (biasa aja sih sebenernya tugasnya, agak di dramatisir aja) sudah 2 orang senior yang jadiin saya responden (nah di bagian ini sebenernya gak suka, begitu bermasalahkah diri saya sehingga harus diteliti,oke, positif aja, mungkin saya unik. hehehe) . Kalau dipikir-pikir (kali ini saya tumben mikir) sosiologi itu mempelajari semuanya loh, bukan hanya agama, perkotaan, pedesaan, kesehatan, lingkungan, hukum, tapi juga hal yang paling absurd di dunia ini yang bernama CINTA . Iya, cinta. Harusnya mahasiswa sosiologi tidak ada yang jomblo karena ada beberapa teori yang mengaitkan tentang ini. Tidak ada yang ngemis-ngemis cinta atau miskin cinta atau bahkan fakir asmara.  PDKT alias PENDEKATAN itu bisa jadi terinspirasi dari teori kakek sosiolog yang mungkin beliau ter...

Mencoba Menemukan Ketenangan di Tengah Riuhnya Kehidupan

Hidup itu seperti berada di atas papan selancar, terkadang ombaknya tenang, terkadang menggulung-gulung seperti monster raksasa. Dan jujur saja, dalam beberapa bulan terakhir, rasanya saya lebih sering terhempas ombak daripada berdiri gagah di atasnya. Cemas? Oh, cemas itu sudah seperti teman lama yang tak diundang datang setiap hari. Mood buruk? Rasanya seperti awan hitam yang terus menempel di kepala, bahkan saat cuaca cerah. Bayangkan saja, saya, yang dulu penuh semangat menjalani hari-hari, tiba-tiba merasa kehilangan minat pada hal-hal yang biasa saya cintai. Olahraga? Sudah seperti cinta lama yang tak berbalas. Buku? Seakan huruf-huruf di dalamnya berubah menjadi semut-semut yang berlarian tanpa arah. Bahkan serial drama Korea yang biasanya menjadi sahabat setia saat malam datang, kini hanya menjadi tontonan latar belakang saat pikiran saya melayang entah ke mana. Hidup saya, meskipun penuh potensi, kadang terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Saya berusaha sebaik mungkin untu...

Towards The Light

Pagi menjelang, dan alarm berbunyi dengan suara yang sama. Saya membuka mata, tetapi rasanya berat untuk bangkit dari tempat tidur. Setiap hari terasa seperti pengulangan yang sama, itu hanya sebuah tanda bahwa saya masih melanjutkan hidup. Hari-hari berlalu, dan saya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak kunjung berubah. Menjalani hari demi hari adalah pekerjaan yang berat, dan saya seperti penonton dalam film yang tidak berujung, menjalani momen yang itu-itu saja tanpa perkembangan. Ketidakpuasan ini membuat saya merasa kosong. Seperti banyak orang, saya berusaha menemukan cara untuk tumbuh, tetapi saat ini, satu-satunya ruang untuk berkembang adalah melalui kembali ke bangku sekolah—sebuah pelarian kecil dari kenyataan yang menyedihkan. Dalam kesibukan itu, saya merindukan kehidupan yang lebih bermakna—kehidupan di mana saya berusaha untuk hidup sepenuhnya, bukan hanya bertahan. Saya bukannya tidak bahagia, tetapi aku juga tidak merasa bahagia. Saya teringat saat-saat ketika saya...