“I miss you in waves. And tonight, I’m drowning.” Ada malam-malam di mana kalimat itu tak hanya terasa puitis, tapi real. Malam ketika sunyi menjadi terlalu riuh, dan yang sudah tiada terasa paling hadir. Dia yang dulu tahu isi kepala kita sebelum kita sempat mengucap. Yang tahu suara tawa kita dan juga diam-diamnya luka yang tak pernah kita akui. Yang mengerti, bahkan ketika kita tak menjelaskan apa pun. Lalu dia pergi dan dunia tak lagi terasa utuh. Waktu gak selalu nyembuhin. Orang bilang, waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi siapa yang bisa benar-benar mengukur itu? Kadang waktu hanya memberi jeda. Menambahkan jarak. Membuat kita terbiasa menjalani hari… tanpa kehadiran yang dulu kita anggap akan selalu ada. Kalau lo sampai di tulisan ini karena sedang menahan luka semacam itu, Gue gak akan bilang “sabar ya.” Gue gak akan pakai kata “ikhlas” sebagai obat serba guna. Karena gue tahu, ada kehilangan yang terlalu pribadi untuk dibingkai dengan kalimat umum. Grief tidak perlu dipame...
A personal ode to Gusti Irwan Wibowo, a stranger I never met, but someone who once helped me stay alive in absurd and sacred ways. Gue gak nyangka bisa sesedih ini sama seseorang yang bahkan belum pernah gue temui. Like…this is a first for me. Biasanya kehilangan tuh tentang orang yang gue kenal, yang pernah gue peluk, yang pernah gue ngobrolin masa depan bareng. Tapi ini beda. Gusti Irwan Wibowo, lo tuh stranger yang rasanya lebih familiar daripada temen kantor gue sendiri. I found you by accident. Or maybe life led me to you on purpose, pas gue lagi di titik hidup yang honestly… berat. Gue denger lo di podcast absurd, di lagu-lagu yang endikup. Ngomong lo yang kayak bocah dan lucu. Hei Chavaaaa!! “Diculik Cinta” itu lagu dangdut pertama yang pernah gue replay di hidup gue. Not ironically. Gue dengerin karena gue butuh itu. Butuh ketawa yang gak palsu. Butuh lucu yang gak ngerendahin. Butuh rasa, tanpa drama. Beberapa waktu lalu, gue bilang ke diri gue: “Kalau Gusti konser di sin...